Yang menjadi alasan saya, sehingga belajar madzhab dan mengapa madzhab Imam Syafi’i diantaranya :
ALASAN PERTAMA
Karena saya mendengar dan menyimak nasehat atau jawaban Syaikh Sholeh Al Ushoimi di Channel Yufid.TV tentang Belajar Fiqih yang Tepat Apakah Dengan Metode Fiqih Mazhab atau Qoul ar-Rajih ?
Sumbernya
: https://www.youtube.com/watch?v=OA7nMgzCIxg
Begini nasehatnya :
Ada jamaah yang bertanya kepada Syaikh Sholeh Al Ushoimi hafidzhohullohu ta’ala : “Manakah yang lebih baik mempelajari fiqih dari madzhab atau qoulur rojih (pendapat yang kuat) ?”
Syaikh Sholeh Al Ushoimi menjawab :
Apa itu pendapat yang rojih ?
Wahai para saudaraku, ini merupakan cara yang tidak benar dalam menuntut ilmu.
Pendapatyang kuat adalah pendapat yang dipilih oleh seorang mujtahid
muthlaq atau muqoyyad, inilah pendapat yang rojih.
Pendapat rojih adalah ijtihad yang dihasilkan oleh seorang mujtahid muqoyyad atau muthlaq yaitu pendapat mujtahid yang ijtihadnya masih terikat dalam suatu permasalahan atau mujtahid yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad dalam setiap masalah. Itulah pendapat yang lebih kuat menurut mujtahid tersebut.
Jika kamu hendak belajar fiqih dari pendapat yang rojih maka, pertanyaannya rojih menurut siapa ?
Apa rojih menurut Syaikh Abdul Aziz bin Baz ?
Ataukah rojih menurut Syaikh Muhammad al Utsaimin ?
Ataukah menurut Syaikh Nashiruddin Al Albani, Syaikh Fauzan atau lainnya
yang mengajar fikih di negeri kita pada masa akhir ini ?
Maka, pendapat rojih adalah hal yang terikat dengan siapa yang berijtihad, dan kamu tidak mungkin dapat mempelajari ilmu fiqih dengan metode seperti ini. Mengapa ? karena ijtihad ulama satu berbeda dengan ijtihad ulama lainnya.
Siapa yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dalam perkara fiqih di masa sekarang ini ?
Ijtihad dalam perkara fiqih bukan sekedar kamu mendalami suatu masalah, kemudian kamu dapat mengatakan pendapat ini rojih.
Seumpama, Ibnu Taimiyah memilih pendapat tertentu, yang jelas menurut Ibnu Taimiyah rojih, kemudian pendapat mayoritas ulama kontempo-rer adalah apa yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah tadi, sehingga pendapat tadi menjadi pendapat yang rojih menurut orang banyak. Itu adalah pendapat yang menurut Ibnu Taimiyah sebagai pendapat yang rojih.
Sedangkan kamu, wahai orang yang menganut pilihan Ibnu Taimiyah, kamu
adalah muqollid (pengikut suatu pendapat). Dan kamu bukan mujtahid.
Buktinya, jika kamu bertanya kepadanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membantah dalil dari pendapat tersebut, maka kamu akan mendapatinya tidak memiliki kemampuan untuk menjawab bantahan tersebut. Karena dia hanya muqollidnya Ibnu Taimiyah.
Dan seperti inilah mayoritas ijtihad ulama-ulama kontemporer. Sehingga pendapat rojih yang kamu pelajari di kuliah syari’ah, semuanya mengatakan ini pendapat rojih. Si Fulan berpendapat ini, dan yang rojih ini dan itu.
Padahal sesungguhnya, semua itu merujuk kepada satu pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah.
Kalau begitu, yang mana ilmu fiqih itu ?
Jika demikian, maka kalian tidak dapat mempela-jari fiqih kecuali dengan
mempelajari pendapat-pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah, sedangkan
pendapat-pendapat yang dipilih Ibnu Taimiyah tidak mencakup seluruh ilmu fiqih,
karena tidak semua sampai kepada kita.
Dan dalam kitab-kitab beliau yang sampai kepada kita, terkadang memiliki lebih dari satu pendapat dalam suatu permasalahan, sehingga untuk mengetahui pendapat yang beliau pilih harus bersandar pada murid-muridnya, terutama Ibnu Muflih.
Dan jika kamu mendapat perbedaan pada suatu permasalahan atau pendapat yang ditetapkan sebagai pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah maka, rujukannya adalah para pendapat yang ditetapkan murid-muridnya diantaranya Ibnu Muflih dalam kitab Al Furu’ atau kitab Adab Asy Syar’iyyah.
Ibnul Qoyyim juga merujuk kepada Ibnu Muflih untuk mengetahui
pendapat-pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dalam berbagai permasalahan
hukuk dan fiqih.
Maka dari itu, pendapat yang rojih hanyalah anggapan semata dan hakikatnya tidak ada.
Sedangkan madzhab-madzhab yang disepakati, telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Oleh karena itu, jika ada yang hendak mempelajari ilmu fiqih maka, dia harus mempelajarinya dari salah satu madzhab yang boleh diikuti.
Dan tujuan dari mempelajari fiqih dari salah satu madzhab adalah untuk membantunya mengeta-hui masalah-masalah yang ada di dalamnya, sebagaimana yang disebutkan Syaikh Sulaiman bin Abdulloh bin Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab Taisir al Aziz al Hamid dalam bab “Orang yang mentaati ulama dan umaro dalam menghalalkan yang Alloh halalkan dan mengha-romkan yang Alloh haromkan.”
Beliau menjelaskan bahwa mempelajari fiqih dari kitab-kitab fiqih
bertujuan untuk memberi gambaran terhadap berbagai masalah yang dibahas di
dalamnya. Dengan begitu, kamu dapat memiliki gambaran berbagai pembahasan
sedikit demi sedikit. Dan ulama fiqih telah menyusunnya secara bertahap.
Pertama, mereka menulis rangkuman singkat, kemudian lebih luas lagi, lebih luas lagi dan lagi, sehingga seseorang dapat memiliki gambaran terhadap berbagai macam pembahasannya, baik itu dalam madzhab Hanbali, Syafi’i, Maliki atau Hanafi.
Setiap madzhab memiliki kitab-kitab yang bertahap, sehingga saat kamu mempelajarinya secara bertahap maka, kamu dapat memiliki gambaran pembahasannya sedikit demi sedikit.
Kemudian kamu dapat naik ke tingkat yang lebih luas pembahasannya, kemudian kamu dapat mencakup seluruh pembahasan ilmu fiqih. Kemudian kamu dapat mengetahui dalil dalam suatu madzhab, kemudian kamu dapat mengetahui pendapat-pendapat dalam empat madzhab.
Jika syaikh yang mengajarkanmu fiqih memiliki pendapat dalam suatu permasalahan maka, sesungguhnya kamu sedang belajar kepada seorang murojjih.
Jika beliau mengatakan “Pendapat yang rojih adalah ini dan ini juga yang dipilih Ibnu Taimiyah.” maka, syaikh tersebut adalah muqollid dan bukan syaikh yang mampu berijtihad. Karena ijtihad mengharuskan seseorang untuk memiliki ilmu tentang dalil-dalil yang berhubungan dengan pendapat yang ia pilih. Juga kemampuan untuk menjawab berdasarkan dalil-dalil itu.
Oleh sebab itu aku menyebutkan salah satu contoh kepada kalian :
“Para ulama kontemporer berkata tentang pendapat yang ada dalam madzhab
Hambali. Dianjurkan bagi orang yang BAK untuk mengeluarkan sisa air BAK-nya
dengan cara “natr” pada dzakarnya sebanyak tiga kali. Para ulama kontemporer
itu mengatakan, itu adalah bid’ah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
Taimiyah dan murid beliau Ibnul Qoyyim dalam kitab Ighootsatul Lahfaan. Itulah
pendapat yang rojih menurut mereka, benar begitu ?”
Akan tetapi, jika kita dalami perkara tentang “natr” ini menurut para ulama besar seperti Imam Asy Syafi’i maka, menurut mereka “natr” ini memiliki dua makna :
1. Membersihkan
air BAK yang tidak mungkin dapat dilakukan dengan cara ini, yaitu dengan cara “natr”
dalam arti menggerak-gerakkan dzakarnya (misal dengan meng-ejan) untuk
mengeluarkan sisa air BAK, sampai air BAK tuntas, jika begini maksudnya maka,
ini adalah hal yang harus dilakukan dan disepakati secara ijma’, sehingga tidak
mungkin itu adalah bid’ah. Karena membersihkan najis yang diperintah oleh
syariat tidak terpenuhi kecuali dengan cara seperti ini.
2. Perbuatan
yang lebih dari itu, yaitu mengeluarkan sisa BAK dengan bantuan tangan (misal
dengan mengurut dzakarnya).
Para ulama fiqih menyebutkan perbuatan mengeluarkan sisa BAK dengan istlah “natr” tersebut secara mutlak.
Namun kemudian, ulama kontemporer meng-khususkan makna dengan mengeluarkan sisa BAK hanya dengan menggunakan tangan saja, padahal itu bukanlah yang dimaksud secara tepat, namun itu hanya sebagian dari yang dimaksud.
Sehingga pendapat yang rojih bahwa “natr” yang maknanya kembali kepada tujuan asal yaitu membersihkan sisa najis, merupakan perkara yang diperintahkan bahkan wajib dilakukan.
Adapun hanya memaknai membersihkan sisa BAK “natr” ini semata-mata
dengan tangan saja, maka ini yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyah tadi bahwa, “natr”
adalah bid’ah.
Dan demikian pula dalam berbagai permasalahan lainnya. Baik itu yang ada dalam madzhab Hambali atau yang lainnya.
Oleh sebab itu, jika kalian ingin mendapat manfaat dari belajar fiqih maka, pelajarilah secara bertahap dan teratur melalui salah satu madzhab yang diakui.
Aku tidak berkata : “Berpeganglah selalu pada pendapat yang ada dalam madzhab.” Namun, aku katakan : ”Senantiasalah mempelajarinya dari madzhab.”
Jika kamu memilih suatu pendapat atau syaikhmu memilih suatu pendapat
atau hatimu condong kepada pendapatnya syaikh fulan, maka itu adalah urusanmu.
Akan tetapi, kamu tidak akan menguasai pembahasan-pembahasan ilmu fiqih kecuali
dengan metode yang ada pada ilmu fiqih.
Adapun orang yang belajar ilmu fiqih secara asal-asalan maka, itu tidak akan mendatangkan manfaat dan hanya menghasilkan orang-orang yang tidak menguasai ilmu fiqih dengan baik.
Aku pernah membaca makalah salah satu dari mereka (orang yang belajar ilmu fiqih secara asal-asalan) yang ditulis beberapa lembar. Di dalamnya terdapat potongan-potongan kutipan dari pendapat Ibnu Taimiyah. Dari kutipan-kutipan itu, orang tersebut menyimpulkan bolehnya lagu dan dibolehkannya mendengar lagu dari suara wanita, serta perkara-perkara yang lainnya.
Hal ini disebabkan karena dia tidak memahami hakikat perkataan Ibnu Taimiyah dalam perkara tersebut dan dia tidak memahami fiqih dengan sebenar-benarnya.
Mereka tidak memiliki gambaran yang benar dalam ilmu fiqih. Kemudian mereka hendak memahami para ahli fiqih seperti Ibnu Taimiyah?
Dari sinilah masuk banyak masalah kepada kaum muslimin akhir-akhir ini. Sehingga sekarang pendapat-pendapat yang dhoif menjadi tuntunan agama. Padahal para ahli fiqih bersepakat tentang haromnya memberi fatwa menggunakan pendapat dhoif.
Mereka (para ulama) masih membolehkan fatwa dengan pendapat yang marjuh (di bawah tingkat rojih). Karena pendapat marjuh masih memiliki tingkat kekuatan, hanya saja masih ada yang lebih kuat. Sedangkan pendapat yang dhoif adalah pendapat yang tidak benar, sehingga tidak boleh digunakan untuk berfatwa.
Kemudian, sekarang ini, orang yang tidak memahami fiqih bersandar pada pendapat-pendapat yang lemah ini dan menjadikannya sebagai tuntunan agama bagi orang banyak. Karenanya, yang dahulu harom sekarang menjadi halal, akibat orang berbicara dalam masalah fiqih tidak memiliki keahlian.
Apabila orang yang tidak memiliki keahlian telah berbicara dalam perkara agama, maka dia akan mendatangkan berbagai musibah bagi umat.........
BERSAMBUNG KE ALASAN KE 2, INSYA
ALLOH...
0 Komentar