ALASAN KEDUA
2. Karena saya mendengar dan menyimak obrolan
antara Ustadz M. Abduh Tuasikal dan Ustadz Thobroni di Channel Rumaysho.TV tentang Alasan belajar
Fikih Imam Syafi’i
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=DbbRSErr7hg
Faedah yang bisa
diambil dari obrolan tersebut :
Diobrolan tersebut ada perumpamaan, ibarat atau gambaran sederhana yang bisa saya ambil yaitu :
-> Al Qur`an dan As Sunnah adalah bahan mentah. Sayur masih mentah, beras
masih mentah, ikan daging masih mentah.
-> Sedang para Imam Mujtahid (setidaknya empat Imam Ahlus Sunnah : Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad) adalah kokinya.
-> Sedang kajian yang ada pada kitab fiqih adalah hasil olahan atau hasil
masakan dari para koki tadi yang siap dihidangkan dan siap dinikmati.
Maka,
siapapun yang mempelajari fiqih, tidak akan lepas dari dalil.
Jika kita ingin meneliti dalilnya juga boleh, itu artinya kita harus belajar tanpa henti yang akhirnya sampai pada tingkatan mujtahid, yang bisa meramu, mengolah bahan mentahnya.
Majelis fiqih seperti sebuah sekolah, yang sudah ada kurikulum secara berjenjang, bertingkat dari yang paling dasar hingga yang paling tinggi. Sehingga dengan belajar fiqih, jalan belajar kita akan terlihat jelas.
Di obrolan itu juga dinyatakan fatwa Syaikh Utsaimin tentang bermadzhab. Dan fatwa beliau, bermadzhablah dengan negeri kalian, atau bermadzhablah dengan masyarakat sekitar. Hindari permasalahan dengan masyarakat dimana sesuatu yang sering menimbulkan amsalah adalah permasalahan fiqih, dimana pada hakikatnya hal tersebut masih bisa ditolerir.
Diobrolan itu juga dinyatakan manusia ada tiga :
1. Orang awam tingkatannya sebagai muqollid.
2. Penuntut ilmu tingkatannya, bisa memilih yang rojih berdasarkan tingkat
keilmuannya, tapi tidak boleh memunculkan pernyataan yang baru.
3. Ulama, boleh berfatwa dan memunculkan fatwa baru.
Jika kita orang awam jangan berlagak seperti ulama.
Kita
kembali kepada Al Qur`an dan As Sunnah, harus mempunyai perangkatnya.
1. Mudah berlapang dada dengan perbedaan atau khilafiyah.
2. Tidak mudah menghukumi suatu amalan sebelum mempelajari hujjahnya apa.
Mudah dalam memahami hakikat
suatu permasalahan atau lebih mudah dalam memahami maksud perkataan ulama.
BERSAMBUNG KE ALASAN KETIGA, INSYA ALLOH..
0 Komentar